HAJI TAJIR; BERNIAGA SAAT HAJI (Oleh: Ngesti Dewi Kirana dan Nur Hasanah)

0

Haji adalah ziarah ke kota Mekkah dengan niat beribadah kepada Allah, setidaknya sekali dalam seumur hidup. Haji memiliki 6 rukun, yakni Ihram, niat haji yang dilakukan di miqat; Wukuf di Arafah, berhenti atau berdiam di padang Arafah sekitar pukul 12 siang tanggal 9 sampai subuh 10 Dzulhijjah; Tawaf Ifadah, setelah melempar Jumrah Aqabah pada 10 Zulhijjah; Sai, berjalan atau berlari-lari kecil dari bukit Shafa ke Marwah tujuh kali setelah Tawaf Ifadah; Tahallul, mencukur atau menggunting rambut kepala setelah Sa’I; Tertib, mengerjakan kegiatan sesuai urutan.
Di era yang jarak tak lagi menjadi pembatas, komunikasi tak lagi ada kata kandas, transaksi pun dapat dilakukan tanpa bergantung waktu dan tempat. Pun pula dalam aspek ibadah kini tak lagi sekadar sisi spiritual, karena aspek material juga dapat disatukan selama tetap dapat membagi antara ibadah dan muamalah. Termasuk dalam hal ini adalah berniaga saat melaksanakan ibadah haji. Aktifitas ini sempat menjadi polemik ketika seseorang sedang berhaji dimana umat Islam meragukan kebolehan berniaga saat haji.
Awal Mula Haji Berburu Rezeki
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau menceritakan tentang Ukazh, Majinnah, Dzul Majaz dahulu merupakan pasar-pasar di masa jahiliah. Dan saat Islam datang, para pedagangnya merasa berdosa jika melakukan perniagaan dalam musim-musim haji. Untuk itu, mereka pun bertanya kepada Rasulullah SAW. Rasul tidak langsung menjawab, maka turunlah firman Allah SWT dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 198:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا۟ فَضْلًا مِّن رَّبِّكُمْ ۚ فَإِذَآ أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَٰتٍ فَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ عِندَ ٱلْمَشْعَرِ ٱلْحَرَامِ ۖ وَٱذْكُرُوهُ كَمَا هَدَىٰكُمْ وَإِن كُنتُم مِّن قَبْلِهِۦ لَمِنَ ٱلضَّآلِّينَ

Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berzikirlah kepada Allah di Masy’aril haram. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.
Dalam kitab Asbabun Nuzul karya Imam As-Suyuthi dijelaskan mengenai boleh tidaknya menyewakan tanah pada waktu yang sama dalam berhaji. Mendengar hal itu, Ibnu Umar pun menjelaskan, “Telah datang seseorang kepada Nabi SAW dan bertanya hal yang sedang engkau tanyakan kepadaku sekarang. Tetapi Rasulullah SAW tidak langsung menjawab. Hingga turun Jibril menyampaikan kepadanya perihal ayat (Al-Baqarah ayat 198). Bahwa sejatinya, tidak ada dosa untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan dari Tuhanmu). Kemudian, kata Ibnu Umar, Rasulullah SAW memanggil orang yang bertanya padanya itu dan bersabda: “Kalian dapat menunaikan haji,”.
Ketika Allah memerintahkan untuk bertakwa, Allah mengabarkan bahwasanya mencari karunia Allah dengan mencari penghidupan pada saat musim haji dan selainnya tidaklah berdosa apabila tidak mengganggu hal yang wajib atasnya, bila maksud kedatangannya adalah berhaji, dan pencahariannya itu adalah halal yang disandarkan kepada karunia Allah, tidak bersandar kepada keahlian seseorang dan melakukan sebab-sebab namun merupakan zat yang membuat sebab-sebab tersebut, karena yang seperti ini adalah inti dari dosa itu sendiri. Sehingga Allah memperbolehkan mereka untuk berdagang di tengah-tengah keberadaannya di Mekah dan Mina dalam firmannya, ”Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu.” Yaitu menginginkan rezeki yang halal dengan jalan berjual-beli yang diperbolehkan.
Haji Repetitif
Namun, terdapat problematika lain dalam ibadah haji ini. Berangkat haji bahkan mengulang pelaksanaan ibadah haji untuk yang ke sekian kalinya dengan beragam motivasi. Motivasi tersebut telah diprediksikan dalam sebuah hadis ini sejak 14 abad. Hadis tersebut yakni “Akan datang suatu masa bagi manusia, orang yang kaya dari umatku pergi haji untuk berwisata, yang kelas menengah pergi haji untuk berdagang, yang ulama pergi haji untuk riya dan popularitas, dan yang faqir pergi haji untuk meminta-minta.” (HR. Imam al-Khatib al-Baghdadi dan ad-Dailami). Jika haji yang dilakukan secara repetitif dan tujuan khusus untuk berniaga dan mengesampingkan ibadah haji itu sendiri, tentu hal ini tidak akan membawa manfaat dalam ibadah haji yang dilaksanakan. Oleh karena itu, perlu niat yang lurus dalam menyelaraskan antara tujuan ibadah haji dan berniaga.
Dengan demikian diperbolehkan dalam mencari nafkah terutama melalui berniaga saat menjalankan haji, dengan syarat berniaga tersebut tidak menjadi tujuan pokok, melalui cara berniaga yang halal, dan dengan niat baik. Selain itu, perlu diingat bahwa seluruh rezeki yang diperoleh saat berhaji merupakan bagian dari karunia Allah dan merupakan ibadah. Berdagang di saat menunaikan ibadah haji selama tidak melalaikan dari kewajiban dan maksud utamanya adalah haji serta usahanya halal. Disebutkan “karunia Allah” untuk mengingatkan bahwa rezeki yang didapat adalah karunia Allah, agar seseorang tidak hanya melihat sebab dan melupakan yang mengadakan sebab, yaitu Allah, di mana hal itu merupakan dosa yang sesungguhnya. Namun bisa jadi alangkah baiknya melaksanakan ibadah haji semata-mata beribadah itu lebih utama, dan membersihkan diri dari kepentingan duniawi, akan lebih sempurna. Anda pilih yang mana?

Bahan Bacaan
Nida Farhana, Problematika Waiting List dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji di Indonesia (online), Vol. 12 No. 1, Juni 2016, (https://media.neliti.com › mediaPDFIAIN Palangka Raya – Neliti, diakses pada 30 Juni 2021).

About author

No comments