MENYIAPKAN PRODI ZAKAT INFAQ DAN SEDEKAH

0

Ngaji maleman Ma’had al-Jami’ah Darul Hikmah IAIN Kediri Selasa 4 Mei 2021 menghadirkan dua narasumber otoritatif secara fiqih maupun regulasi, KH Agus Zubaduzzaman Thoha dan Dr. M. Shofiyul Huda, MF, M.Ag. Pemateri pertama merupakan pengurus Baznas Kota Kediri dan juga pengasuh PP al-Ishlah Bandar. Pemateri ke dua merupakan Ketua Lazisnu Kota Kediri yang juga dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah (FUDA) IAIN Kediri. Mengambil tema Zakat Kekinian; Konservatif menuju Inovatif, berlangsung secara offline di aula Ma’had al-Jami’ah, dan online melalui zoom dan channel Youtube Ma’had IAIN Kediri official, dengan dipandu moderator Ust Muhammad Ma’mun, MHI.

Dalam paparannya, KH Agus Zubaduzzaman Thoha menyampaikan bahwa zakat memiliki sisi spesifik yang berbeda dari kewajiban lainnya bagi umat Islam. Kewajiban zakat dilakukan oleh orang dengan persyaratan tertentu, diberikan kepada orang tertentu, barangnya tertentu, pada waktu tertentu dan jumlahnya juga tertentu. Dalam zakat harta yang selama ini memang belum dilakukan secara maksimal, maka perlu dorongan dan dukungan pemerintah secara formal. KH Agus Zubaduzzaman mencontohkan hal ini yang terjadi di Bandung, dimana walikotanya menerbitkan surat perintah pemotongan 2,5% dari penghasilan ASN untuk dikelola oleh Baznas. Maka peran jalur formal dalam hal ini sangat membantu untuk mewujudkan tercapainya pengumpulan dan pengelolaan zakat bagi pegawai. Saat ini BAZNAS sedang mengajukan rancangan keputusan presiden (Keppres) tentang pemotongan gaji PNS sebesar 2,5 persen untuk pembayaran zakat.

Lebih lanjut diuraikan bahwa penghitungan zakat mal adalah adanya aspek aktifitas yang berorientasi laba, baik itu dalam perniagaan maupun yang sejenisnya, dan telah mencapai nishob. Nishob yang menjadi patokan adalah perhiasan emas sebesar 80-85 gram (variasi madzhab dalam menetapkan nishob emas). Dicontohkan orang yang membuka usaha peracangan dengan hitungan yang sudah mencapai nishob tertentu maka wajib mengeluarkan 2,5% nya. Beliau mencontohkan ada seseorang di Blita mendapatkan order untuk mengirimkan tusuk sate ke Jepang sebanyak satu kontainer dengan nilai 200 juta maka ia sudah terkena kewajiban 2,5% zakatnya. Demikian juga orang yang berpenghasilan dengan hitungan setahun telah mencapai nishob emas 80-85 gram. Dengan harga emas perkiraan Rp. 600.000,- dikalikan 80 gram maka nishob zakat harta adalah Rp. 48.000.000,-. Dengan demikian bila seseorang berpenghasilan bulanan Rp.4.000.000,- maka ia  sudah terkena kewajiban mengeluarkan 2,5% untuk zakatnya, sebesar Rp. 1.200.000,-. Bagaimana bila ternyata pengeluaran yang bersangkutan banyak setiap bulannya sehingga hanya tersisa Rp. 500.000,- setiap bulannya?  Dalam hal ini tetap dihitung berdasarkan penghasilan awalnya sebelum digunakan untuk pengeluaran rutinnya. Karena bila menunggu potongan pengeluaran maka bisa saja sampai kapanpun tidak akan terkena kewajiban zakat.

Di sesi ke dua, Dr. M. Shofiyul Huda MF, M.Ag selaku ketua LAZISNU Kota Kediri menyampaikan bahwa penduduk muslim Indonesia yang jumlahnya sangat besar memberikan potensi pengelolaan zakat fitrah bila dilakukan secara maksimal. Dan sudah sejak munculnya UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengeloalaan Zakat, mulai ada penataan kelembagaan dan penyelenggaran pengumpulan zakat. Belakangan memang banyak bermunculan lembaga-lembaga pengelola zakat yang mungkin perlu diverifikasi keabsahannya untuk diberikan bimbingan dan pengarahan. Selama ini sudah jamak ditemukan di khalayak masyarakat panitia-panitia pengumpul zakat baik zakat fitrah maupun zakat maal, terutama di bulan Ramadhan hingga jelang Idul Fitri. Maka di sinilah muncul banyak organ Unit Pengumpul Zakat (UPZ) yang menjadi ujung tombak penerimaan zakat dari para muzakki. Mengingat pemerintah telah memiliki UU tentang Pengelolaan Zakat maka perlu dipahamkan praktek yang terjadi di masyarakat. Banyaknya panitia penerimaan zakat fitrah misalnya di masjid musholla sebenarnya mereka ini statusnya adalah Wakil Muzakkki, dan belum bisa dibilang sebagai Amil Syar’i. Yang bisa disebut sebagai Amil Syar’i adalah mereka yang memiliki legalitas pemerintah berupa izin Menteri Agama yang didahului dengan rekomendasi Baznas, seperti Lazisnu, Lazismu, dan beberapa lembaga lainnya. Maka panitia zakat yang ada di musholla, masjid, maupun madrasah belum bisa masuk kategori Amil, namun hanya sebagai pengumpul zakat, sebagaimana ketentuan perundang-undangan Zakat.

Amil Syar’i memiliki fungsi sebagai Naib Mustahiq, sehingga ia memiliki konsekuensi lebih memadai dibandingkan dengan panitia zakat yang ada di musholla, madrasah yang belum terlegalisasi sebagai UPZ (Unit Pengumpul Zakat) Baznas, atau yang bukan bagian dari Lembaga yang memiliki izin seperti Lazisnu. Seseorang yang mengumpulkan zakatnya ke Amil Syar’i maka zakatnya dinyatakan sudah gugur karena Amil Syar’i sebagai pengganti Mustahiq Zakat. Namun bila mengumpulkan zakat ke panitia yang ada di sekolah, musholla atau masjid yang belum berstatus Amil Syar’i maka zakatnya belum dinyatakan gugur hingga panitia tersebut memberikannya kepada mustahiq, para penerima zakat fakir miskin dan seterusnya. Konsekuensi lain dari Amil Syar’i adalah pengelolaan yang berakibat pada keluarnya pembiayaan dapat diambilkan dari zakat yang terkumpul.

Nah, nampaknya persoalan zakat ini ke depan perlu penanganan secara lebih serius, salah satunya bisa melalui sebuah kurikulum terstruktur untuk menghasilkan manajemen pengelolaan yang profesional agar benar-benar mencapai tujuan yang dimaksud. Masyakat Indonesia yang sebagian besar muslim membutuhkan hal ini untuk kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan mereka juga. Dan yang juga penting membutuhkan edukasi massif terkait persoalan zakat, sebagaimana persoalan pendidikan, pernikahan, maupun haji-umroh. Maka ini juga peluang untuk mengajukan Prodi ZIS (Afif-Sholih).

About author

No comments